Kampanye Vaksinasi di Jerman Terhambat Strategi Komunikasi – DW – 16.08.2021
  1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanJerman

Kampanye Vaksinasi di Jerman Terhambat Strategi Komunikasi

Kay-Alexander Scholz
16 Agustus 2021

Pemerintah Jerman mengimbau warganya untuk divaksinasi. Tetapi kampanye tersendat-sendat. Psikolog melihat masalah utamanya pada strategi komunikasi. Lalu, bagaimana itu bisa diperbaiki?

https://p.dw.com/p/3z1ym
Proses vaksinasi yang memperlihatkan jarum suntik justru dianggap menakuti orang
Kamu merasakannya? Psikolog mengatakan gambar seperti ini akan lebih banyak menakuti orang daripada memotivasi mereka untuk vaksinFoto: Jelena Djukic Pejic/DW

Adegan seseorang bermasker, biasanya mengenakan pakaian pelindung, membungkuk ke arah pasien, menyuntik lengan mereka dengan suntikan penuh cairan, jadi simbol vaksinasi massal di semua kanal televisi Jerman akhir-akhir ini. Kampanye serupa itu juga terlihat dalam bentuk poster di jalan-jalan di seluruh Jerman.

"Secara psikologis, adegan yang didramatisasi ini tidak benar-benar menawarkan argumen yang baik untuk mengajak warga agar mengikuiti program vaksinasi," kata psikolog Stephan Grünewald kepada DW. Bagi kebanyakan orang, gambar itu justru menakutkan. Penting untuk mengetahui seberapa kuatnya pengaruh sebuah gambar, argumen psikolog itu.

Grünewald juga menyarankan, pemerintah Jerman harus lebih intens menangani ketidaknyamanan batin masyarakatnya, jika ingin menginspirasi banyak dari mereka untuk divaksinasi. Dia mengatakan lebih lanjut, "banyak faktor alam bawah sadar dan irasional" yang memainkian peranan.

Pakar medis seperti Uwe Janssens, juga telah menyerukan pemerintah untuk lebih mengedukasi warga, menyarankan psikolog membantu mengatasi ketakutan orang.

"Jika pepatah mengatakan bahwa setengah dari bisnis adalah psikologi, maka dapat dikatakan bahwa psikologi adalah tiga perempatnya dari pandemi," ujar Grünewald.

Boneka Suarakan Penderitaan di Masa Corona

Seperti apa seharusnya strategi kampanye pemerintah?

"Kebanyakan orang memiliki ketakutan yang mendalam terhadap jarum suntik atau sesuatu yang dimasukkan ke dalam tubuh mereka", kata psikolog Peter Kirsch kepada DW. Namun gambaran vaksinasi yang khas itu justru menekankan tindakan menakutkan itu, secara berualng, lagi dan lagi.

Kirsch mengatakan, teknologi yang digunakan untuk memerangi virus corona telah membuat segalanya menjadi sedikit lebih rumit. Ia menunjuk pada fakta, kebanyakan orang tidak dapat benar-benar membayangkan apa itu "vaksin mRNA dan rekayasa genetika."

Selain itu, kebanyakan orang juga menghindari risiko, sehingga mereka akan "membuat keputusan setelah menimbang risiko mereka sendiri." Dapat dikatakan, penelitian tentang pengambilan keputusan ini telah menunjukkan risiko sering dinilai terlalu tinggi bila dibandingkan dengan manfaatnya.

Faktor penting bagi mereka yang mengevaluasi risiko secara serius adalah kepercayaan, area di mana politisi berkinerja buruk, kata Kirsch.

Sebagai contoh, ia merujuk pada "kegemparan yang terjadi terkait pertanyaan apakah anak muda perlu divaksinasi atau tidak," atau kemanjuran memakai masker wajah. Dalam kedua kasus tersebut, para politisi mula-mula menjawab pertanyaan itu pada satu arah,, tapi mereka berbalik arah tak lama kemudian.

Kirsch mengatakan pergeseran dari "tidak diperlukan" menjadi "wajib" menghilangkan kepercayaan yang dirasa masih kurang hingga saat ini.

Mendorong vaksinasi dengan insentif

Pertanyaan saat ini "vaksinasi: ya atau tidak?" menimbulkan sederet pertanyaan lainnya tentang kepercayaan. Kirsch, misalnya, memimpin sebuah penelitian yang melihat hubungan antara kepercayaan secara general seseorang terhadap institusi, politisi, komunitas bisnis dan media, serta kesediaan mereka untuk divaksinasi. Studinya menemukan korelasi yang signifikan: Semakin besar keyakinan individu bahwa institusi bekerja dengan baik, semakin besar keinginan mereka untuk divaksinasi, dan sebaliknya.

Orang yang skeptis seringkali lebih cenderung memiliki "mentalitas konspirasi," kata Kirsch. "Mereka adalah orang-orang yang cenderung melihat kekuatan yang tersembunyi dengan agenda mereka sendiri, diam-diam menarik tali di belakang layar." Hal itu memberi mereka rasa "pemberdayaan diri" yang berarti bahwa "orang tidak lagi merasa terikat oleh aturan dan norma masyarakat." Sulit untuk melakukan apa pun untuk melawan sikap itu.

Menawarkan insentif adalah salah satu cara potensial untuk memacu tindakan. Misalnya, beberapa otoritas di Jerman baru-baru ini mulai menawarkan sosis bakar atau burger gratis setiap vaksinasi. Namun Kirsch menegaskan, individu yang masih ragu-ragu akan membutuhkan lebih dari sekedar insentif semacam itu, untuk meyakinkan mereka agar ikut program vaksinasi.

Insentif negatif, seperti aturan yang mengatakan bahwa orang yang tidak divaksinasi harus membayar untuk tes virus corona agar mereka bisa pergi ke bioskop dan tempat umum lainnya, mungkin juga bisa mendorong mereka yang ragu-ragu untuk divaksinasi. Namun menurut Kirsch, ia akan mengambil langkah yang lebih jauh lagi: "Kita harus membuat orang-orang mengerti bahwa mereka harus melepaskan hal-hal tertentu jika mereka tidak mau divaksinasi."

Vaksinasi wajib?

Ada banyak diskusi di Jerman tentang gagasan untuk mengembalikan kebebasan sosial kepada mereka yang "sembuh dan divaksinasi" tetapi tidak untuk mereka yang menolak untuk divaksinasi. Logikanya adalah bahwa ini akan menekan mereka yang ragu-ragu, meskipun Kirsch mengakui, "kita ibaratnya akan menabrak tembok berupa para anti-vaksin garis keras."

Jadi harus menerapkan aturan wajib vaksinasi? "Selama satu setengah tahun terakhir, pemerintah Jerman telah mengatakan vaksinasi tidak akan diwajibkan," kata Kirsch. "Pembelokan arah sekarang hanya akan memberi umpan bagi narasi para anti-vaksin dan teori konspirasi 'Querdenker' yang curiga para politisi memiliki agenda lain di dalam pikiran mereka." (kp/as)